Selasa, 15 Oktober 2013

KPR Konvensional Atau KPR Syariah?


KPR syariah adalah produk yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah (Islamic banking). Pada KPR syariah, yang ditransaksikan adalah barang (dalam hal ini rumah) dengan prinsip jual-beli (murabahah). Hal ini tentu berbeda dengan prinsip bank konvensional, dimana yang ditransaksikan adalah uang.

Dalam transaksi tersebut, bank syariah "seolah-olah" membeli rumah yang diinginkan konsumen dan menjualnya kepada konsumen tersebut dengan cara dicicil. Kendati tidak memberlakukan bunga, namun bank syariah juga mengambil margin keuntungan dari harga jual rumah.

Berbeda dengan bank konvensional yang tingkat suku bunganya fluktuatif, KPR syariah memiliki beberapa alternatif pilihan akad sesuai kebutuhan Anda. Yang paling banyak ditawarkan adalah skema jual beli (murabahah), di mana pihak bank syariah akan membeli rumah yang diinginkan Anda sebesar harga rumah tersebut, kemudian menjualnya kepada Anda. Harga jualnya biasanya sudah ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan Anda.

Harga jual rumah ditetapkan di awal ketika Anda menandatangani perjanjian pembiayaan jual beli rumah, dengan angsuran tetap hingga jatuh tempo pembiayaan. Dengan adanya kepastian jumlah angsuran bulanan yang harus dibayar sampai masa angsuran selesai, Anda tidak akan dipusingkan dengan masalah naik/turunnya angsuran ketika suku bunga bergejolak. Anda juga diuntungkan ketika ingin melunasi angsuran sebelum masa kontrak berakhir, karena bank syariah tidak akan mengenakan pinalti. Bank syariah tidak memberlakukan sistem pinalti karena harga KPR sudah ditetapkan sejak awal.
 

Kelebihan dan Kekurangan

Tidak seperti bank konvensional yang menerapkan bunga, yang naik-turun mengikuti fluktuasi suku bunga di pasar, bank syariah menerapkan cicilan tetap (fix) hingga akhir masa tenor.

Selain itu, KPR syariah tidak mengenal istilah value of money. Dengan demikian, jika konsumen (debitur) terlambat atau menunggak pembayaran, tidak akan dikenakan denda.
Kendati demikian, KPR syariah memiliki "kekurangan", yaitu masa cicilan (tenor) maksimal hanya delapan tahun, berbeda dengan bank konvensional yang bisa mencapai 15 tahun, bahkan 20 tahun. Lantaran tenornya yang lebih pendek, maka jumlah cicilan per bulannya juga relatif lebih besar dari KPR konvensional.

Karena itu, sebelum Anda memutuskan akan mengambil KPR jenis apa dan dari bank mana, Anda perlu membandingkan program KPR yang ditawarkan oleh bank konvensional dengan tawaran KPR dari beberapa bank syariah yang akan menggunakan margin tetap yang berbeda-beda. Buatlah simulasi perhitungan cicilan bulanan masing-masing dan pertimbangkan mana yang lebih memungkinkan untuk Anda ambil sesuai dengan kondisi keuangan Anda saat ini.

Ketentuan Baru Terkait LTV Kepemilikan Properti

Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran (SE) terkait penyempurnaan ketentuan Loan to Value (LTV) atau Financing to Value (FTV) untuk kredit kepemilikan properti dan kredit konsumsi beragunan properti.

"Latar belakang kebijakan ini pada intinya bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan dan memperkuat ketahanan perbankan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah di Gedung BI, Jakarta, Rabu (25/9/2013).

LTV/FTV adalah rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan bank terhadap nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit atau pembiayaan.  Adapun ruang lingkup properti meliputi rumah tapak, rumah susun (apartemen, flat, kondominium dan griya tawang), rumah kantor dan rumah toko (ruko).

Penyempurnaan tersebut, kata Difi, dijelaskan dalam Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 tentang penerapan manajemen resiko pada bank yang melakukan pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.

Tujuan dari diberlakukannya SE tersebut, ujar Difi, antara lain mendorong penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit. Di sisi lain, ketentuan LTV/FTV ini juga memberi kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat berpenghasilan menengah–bawah untuk memperoleh rumah layak huni serta meningkatkan aspek perlindungan konsumen di sektor properti. Ketentuan ini dikecualikan bagi kredit/pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah. "Perlu diketahui ketentuan ini dikecualikan bagi kredit atau pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah," tegasnya.

Ketentuan LTV/FTV SE yang baru ini juga mengatur beberapa hal yakni, pertama, perlakuan terhadap debitur suami istri. Kedua, perlakuan terhadap fasilitas kredit tambahan (top up) KPP sebelumnya atau pembiayaan baru berdasarkan properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya.

Serta ketiga, larangan bagi bank untuk memberikan fasilitas kredit atau pembiayaan tambahan untuk pemenuhan uang muka kredit/pembiayaan pemilikan properti dan atau kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti.

"Dalam SE ini juga diatur pula prinsip kehati-hatian dalam pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan pemilikan properti jika properti yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh (inden) yakni hanya diperbolehkan pada pemberian fasilitas kredit KPR atau rumah pertama," kata Difi.


Penyempurnaan ketentuan LTV/FTV dilatarbelakangi oleh tingginya pertumbuhan kredit ke sektor properti, khususnya kredit untuk rumah tapak dan rumah susun (flat dan apartemen) pasca penerapan ketentuan LTV/FTV pada pertengahan 2012. Tingginya pertumbuhan sektor properti juga mempengaruhi perilaku debitur dalam memanfaatkan kredit/pembiayaan dari bank. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi yang menunjukkan penggunaan kredit konsumsi lainnya untuk pembelian properti atau sebagai tambahan uang muka pembelian properti. 


Untuk mengantisipasi peningkatan konsentrasi risiko kredit di sektor properti, dengan mempertimbangkan profil risiko debitur/nasabah termasuk kemampuan pelunasan kredit (repayment capacity), ketentuan yang baru akan memberlakukan LTV/FTV dengan persentase yang menurun (regresif). Sasaran utama dari pengaturan dimaksud adalah mengantisipasi potensi risiko gagal bayar yang disebabkan penurunan kemampuan pelunasan kredit.

Dengan dikeluarkannya SE tersebut, maka akan mencabut ketentuan sebelumnya, yakni Surat Edaran No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 (versi mobile) dan Surat Edaran No.14/33/DPbS tanggal 27 November 2012. Ketentuan ini akan berlaku efektif mulai 30 September 2013 serentak untuk bank konvensional, bank syariah dan unit usaha syariah.