KPR syariah adalah produk yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah (Islamic banking).
Pada KPR syariah, yang ditransaksikan adalah barang (dalam hal ini
rumah) dengan prinsip jual-beli (murabahah). Hal ini tentu berbeda
dengan prinsip bank konvensional, dimana yang ditransaksikan adalah
uang.
Dalam transaksi tersebut, bank syariah "seolah-olah" membeli rumah
yang diinginkan konsumen dan menjualnya kepada konsumen tersebut dengan
cara dicicil. Kendati tidak memberlakukan bunga, namun bank syariah juga
mengambil margin keuntungan dari harga jual rumah.
Berbeda dengan bank konvensional yang tingkat suku bunganya fluktuatif,
KPR syariah memiliki beberapa alternatif pilihan akad sesuai kebutuhan
Anda. Yang paling banyak ditawarkan adalah skema jual beli (murabahah),
di mana pihak bank syariah akan membeli rumah yang diinginkan Anda
sebesar harga rumah tersebut, kemudian menjualnya kepada Anda. Harga
jualnya biasanya sudah ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati
antara bank syariah dan Anda.
Harga jual rumah ditetapkan di
awal ketika Anda menandatangani perjanjian pembiayaan jual beli rumah,
dengan angsuran tetap hingga jatuh tempo pembiayaan. Dengan adanya
kepastian jumlah angsuran bulanan yang harus dibayar sampai masa
angsuran selesai, Anda tidak akan dipusingkan dengan masalah
naik/turunnya angsuran ketika suku bunga bergejolak. Anda juga
diuntungkan ketika ingin melunasi angsuran sebelum masa kontrak
berakhir, karena bank syariah tidak akan mengenakan pinalti. Bank syariah tidak memberlakukan sistem pinalti karena harga KPR sudah
ditetapkan sejak awal.
Kelebihan dan Kekurangan
Tidak seperti bank
konvensional yang menerapkan bunga, yang naik-turun mengikuti fluktuasi
suku bunga di pasar, bank syariah menerapkan cicilan tetap (fix) hingga akhir masa tenor.
Selain itu, KPR syariah tidak mengenal istilah value of money. Dengan demikian, jika konsumen (debitur) terlambat atau menunggak pembayaran, tidak akan dikenakan denda.
Kendati demikian, KPR syariah memiliki "kekurangan", yaitu masa cicilan (tenor)
maksimal hanya delapan tahun, berbeda dengan bank konvensional yang
bisa mencapai 15 tahun, bahkan 20 tahun. Lantaran tenornya yang lebih
pendek, maka jumlah cicilan per bulannya juga relatif lebih besar dari
KPR konvensional.
Karena itu, sebelum Anda memutuskan akan
mengambil KPR jenis apa dan dari bank mana, Anda perlu membandingkan
program KPR yang ditawarkan oleh bank konvensional dengan tawaran KPR
dari beberapa bank syariah yang akan menggunakan margin tetap yang
berbeda-beda. Buatlah simulasi perhitungan cicilan bulanan masing-masing
dan pertimbangkan mana yang lebih memungkinkan untuk Anda ambil sesuai
dengan kondisi keuangan Anda saat ini.
Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran (SE) terkait penyempurnaan
ketentuan Loan to Value (LTV) atau Financing to Value (FTV) untuk kredit
kepemilikan properti dan kredit konsumsi beragunan properti.
"Latar
belakang kebijakan ini pada intinya bertujuan menjaga stabilitas sistem
keuangan dan memperkuat ketahanan perbankan dengan mengedepankan
prinsip kehati-hatian," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI
Difi A Johansyah di Gedung BI, Jakarta, Rabu (25/9/2013).
LTV/FTV
adalah rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan
bank terhadap nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit
atau pembiayaan. Adapun ruang lingkup properti meliputi rumah tapak,
rumah susun (apartemen, flat, kondominium dan griya tawang), rumah
kantor dan rumah toko (ruko).
Penyempurnaan tersebut, kata Difi,
dijelaskan dalam Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September
2013 tentang penerapan manajemen resiko pada bank yang melakukan
pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau
pembiayaan konsumsi beragun beragun properti, dan kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor.
Tujuan dari diberlakukannya SE tersebut,
ujar Difi, antara lain mendorong penerapan prinsip kehati-hatian dalam
penyaluran kredit. Di sisi lain, ketentuan LTV/FTV ini juga memberi
kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat berpenghasilan
menengah–bawah untuk memperoleh rumah layak huni serta meningkatkan
aspek perlindungan konsumen di sektor properti. Ketentuan ini dikecualikan bagi kredit/pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah. "Perlu diketahui
ketentuan ini dikecualikan bagi kredit atau pembiayaan dalam rangka
program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah," tegasnya.
Ketentuan
LTV/FTV SE yang baru ini juga mengatur beberapa hal yakni, pertama,
perlakuan terhadap debitur suami istri. Kedua, perlakuan terhadap
fasilitas kredit tambahan (top up) KPP sebelumnya atau pembiayaan baru berdasarkan properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya.
Serta
ketiga, larangan bagi bank untuk memberikan fasilitas kredit atau
pembiayaan tambahan untuk pemenuhan uang muka kredit/pembiayaan
pemilikan properti dan atau kredit atau pembiayaan konsumsi beragun
properti.
"Dalam SE ini juga diatur pula prinsip kehati-hatian
dalam pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan pemilikan properti jika
properti yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh (inden) yakni
hanya diperbolehkan pada pemberian fasilitas kredit KPR atau rumah
pertama," kata Difi.
Penyempurnaan ketentuan LTV/FTV dilatarbelakangi oleh tingginya
pertumbuhan kredit ke sektor properti, khususnya kredit untuk rumah
tapak dan rumah susun (flat dan apartemen) pasca penerapan ketentuan
LTV/FTV pada pertengahan 2012. Tingginya pertumbuhan sektor properti
juga mempengaruhi perilaku debitur dalam memanfaatkan kredit/pembiayaan
dari bank. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi yang menunjukkan
penggunaan kredit konsumsi lainnya untuk pembelian properti atau sebagai
tambahan uang muka pembelian properti.
Untuk mengantisipasi peningkatan konsentrasi risiko kredit di sektor
properti, dengan mempertimbangkan profil risiko debitur/nasabah termasuk
kemampuan pelunasan kredit (repayment capacity), ketentuan yang baru
akan memberlakukan LTV/FTV dengan persentase yang menurun (regresif).
Sasaran utama dari pengaturan dimaksud adalah mengantisipasi potensi
risiko gagal bayar yang disebabkan penurunan kemampuan pelunasan kredit.
Dengan dikeluarkannya SE tersebut, maka akan
mencabut ketentuan sebelumnya, yakni Surat Edaran No. 14/10/DPNP
tanggal 15 Maret 2012 (versi mobile) dan Surat Edaran No.14/33/DPbS
tanggal 27 November 2012. Ketentuan ini akan berlaku efektif mulai 30
September 2013 serentak untuk bank konvensional, bank syariah dan unit
usaha syariah.