Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran (SE) terkait penyempurnaan
ketentuan Loan to Value (LTV) atau Financing to Value (FTV) untuk kredit
kepemilikan properti dan kredit konsumsi beragunan properti.
"Latar
belakang kebijakan ini pada intinya bertujuan menjaga stabilitas sistem
keuangan dan memperkuat ketahanan perbankan dengan mengedepankan
prinsip kehati-hatian," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI
Difi A Johansyah di Gedung BI, Jakarta, Rabu (25/9/2013).
LTV/FTV
adalah rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan
bank terhadap nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit
atau pembiayaan. Adapun ruang lingkup properti meliputi rumah tapak,
rumah susun (apartemen, flat, kondominium dan griya tawang), rumah
kantor dan rumah toko (ruko).
Penyempurnaan tersebut, kata Difi,
dijelaskan dalam Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September
2013 tentang penerapan manajemen resiko pada bank yang melakukan
pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau
pembiayaan konsumsi beragun beragun properti, dan kredit atau pembiayaan
kendaraan bermotor.
Tujuan dari diberlakukannya SE tersebut,
ujar Difi, antara lain mendorong penerapan prinsip kehati-hatian dalam
penyaluran kredit. Di sisi lain, ketentuan LTV/FTV ini juga memberi
kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat berpenghasilan
menengah–bawah untuk memperoleh rumah layak huni serta meningkatkan
aspek perlindungan konsumen di sektor properti. Ketentuan ini dikecualikan bagi kredit/pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah. "Perlu diketahui
ketentuan ini dikecualikan bagi kredit atau pembiayaan dalam rangka
program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah," tegasnya.
Ketentuan
LTV/FTV SE yang baru ini juga mengatur beberapa hal yakni, pertama,
perlakuan terhadap debitur suami istri. Kedua, perlakuan terhadap
fasilitas kredit tambahan (top up) KPP sebelumnya atau pembiayaan baru berdasarkan properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya.
Serta
ketiga, larangan bagi bank untuk memberikan fasilitas kredit atau
pembiayaan tambahan untuk pemenuhan uang muka kredit/pembiayaan
pemilikan properti dan atau kredit atau pembiayaan konsumsi beragun
properti.
"Dalam SE ini juga diatur pula prinsip kehati-hatian
dalam pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan pemilikan properti jika
properti yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh (inden) yakni
hanya diperbolehkan pada pemberian fasilitas kredit KPR atau rumah
pertama," kata Difi.
Penyempurnaan ketentuan LTV/FTV dilatarbelakangi oleh tingginya
pertumbuhan kredit ke sektor properti, khususnya kredit untuk rumah
tapak dan rumah susun (flat dan apartemen) pasca penerapan ketentuan
LTV/FTV pada pertengahan 2012. Tingginya pertumbuhan sektor properti
juga mempengaruhi perilaku debitur dalam memanfaatkan kredit/pembiayaan
dari bank. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi yang menunjukkan
penggunaan kredit konsumsi lainnya untuk pembelian properti atau sebagai
tambahan uang muka pembelian properti.
Untuk mengantisipasi peningkatan konsentrasi risiko kredit di sektor
properti, dengan mempertimbangkan profil risiko debitur/nasabah termasuk
kemampuan pelunasan kredit (repayment capacity), ketentuan yang baru
akan memberlakukan LTV/FTV dengan persentase yang menurun (regresif).
Sasaran utama dari pengaturan dimaksud adalah mengantisipasi potensi
risiko gagal bayar yang disebabkan penurunan kemampuan pelunasan kredit.
Dengan dikeluarkannya SE tersebut, maka akan
mencabut ketentuan sebelumnya, yakni Surat Edaran No. 14/10/DPNP
tanggal 15 Maret 2012 (versi mobile) dan Surat Edaran No.14/33/DPbS
tanggal 27 November 2012. Ketentuan ini akan berlaku efektif mulai 30
September 2013 serentak untuk bank konvensional, bank syariah dan unit
usaha syariah.