Harga rumah dan apartemen yang melangit tidak menghalangi pembelian
rumah kelas menengah-atas secara tunai atau tunai bertahap. Pada
kelompok ini, bank justru bersaing dengan pembeli tunai.
Data yang
dikeluarkan oleh konsultan properti Cushman & Wakefield
menyebutkan, pada semester II tahun lalu, sebanyak 27 persen pembeli
membayar dengan tunai keras dan sebanyak 22 persen membayar dengan tunai
bertahap. Sisanya, sebanyak 51 persen, membayar dengan kredit.
Direktur
Konsumer dan Ritel Banking PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk,
Darmadi Sutanto mengungkapkan, pembelian tunai dan tunai bertahap untuk
rumah kelas menengah atas meningkat. Akibatnya, kredit pemilikan rumah
untuk kelompok ini turun.
"Kami punya strategi, meminta tunai bertahap dipindah ke bank," kata Darmadi, menyiasati tingginya pembelian rumah secara tunai. Pembelian
tunai bertahap, artinya pembeli membayar dalam satu tempo tertentu,
misalnya 12 bulan. Dengan demikian, tidak menggunakan kredit bank.
BNI
menyasar kredit pemilikan rumah (KPR) dengan jumlah pinjaman sekitar Rp
374 juta per unit. Kendati yakin belum ada potensi gelembung (bubble)
pada KPR, BNI ketat menerapkan aturan uang muka minimal sebesar 30% dari harga rumah.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat
Indonesia (Persero) Tbk Muhamad Ali mengemukakan, sejauh ini belum ada
pengaruh pembelian secara tunai dan tunai bertahap bagi KPR BRI. Menurut
Ali, BRI masih akan mengembangkan KPR dengan nilai pinjaman Rp 300
juta-Rp 500 juta per unit.
Bank Indonesia, pada Juni 2012 lalu, menerbitkan aturan mengenai loan to value (LTV) atau jumlah pinjaman maksimal yang diberikan untuk nasabah KPR
dengan luas rumah di atas 70 meter persegi. Aturan yang disusul untuk
pembiayaan rumah bank syariah pada April 2013 itu, antara lain, mengatur
LTV sebesar 70 persen dari harga rumah. Artinya, untuk membeli rumah,
konsumen harus menyiapkan uang muka minimal 30 persen dari harga rumah.
Akan tetapi, faktanya, untuk rumah dengan luas lebih dari 70 meter
persegi, yang umumnya harganya tinggi, banyak pembeli membayar secara
tunai.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Agusman, dalam jawaban tertulis atas pertanyaan Kompas, menyebutkan,
wajar tidaknya harga properti ditentukan oleh mekanisme permintaan dan
suplai. Dengan demikian, sepanjang harga properti yang ditawarkan masih
terjangkau oleh konsumen di kelasnya dan properti yang dibeli digunakan
sesuai dengan peruntukan, dapat dikatakan harga properti masih wajar.
Namun, apabila harga properti sudah di luar jangkauan konsumen dan
pembelinya adalah pihak yang mengharapkan kenaikan investasi, dapat
dikatakan harganya sudah di atas nilai wajar.