Sudah menjadi rahasia umum di Jakarta ini terjadi praktik "jual beli"
ijin dan lebih jauh lagi regulasi. Terutama Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB). Alih-alih penataan ruang kota Jakarta dapat meningkatkan kualitas
hidup warganya, malah bencana yang datang kemudian. Kemacetan dan
banjir adalah produk dari praktik "pat gulipat" yang ditengarai kerap
terjadi antara oknum Pemprov DKI Jakarta dan pengembang properti.
Hal
tersebut disampaikan pegiat Jakarta Hijau, Nirwono Joga, dalam dialog
Komunitas Peta Hijau Jakarta. Menurutnya praktik yang berlaku di
lapangan menunjukkan adanya ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur
regulasi dan menata ruang. Ia menuding, pengembang properti kini justru
lebih berani "menyetir" pemerintah dengan mengajukan rencana pembangunan
yang celakanya, kemudian dilegalisasi.
Mereka mengantongi izin,
mendapatkan fasilitas serta akses dari pemerintah. Padahal, belum tentu
proyek tersebut memenuhi ketiga dimensi Analisis Dampak Lingkungan
(Amdal), yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Sampai saat, lanjut Nirwono,
ia belum pernah melihat penghentian proyek, meski ketiga Amdal tersebut
tidak terpenuhi.
"Hal ini tidak bisa berlangsung selamanya. Ini
menyangkut masa depan Jakarta. Kota ini harus bebas macet dan banjir.
Untuk itu diperlukan ketegasan dari pemerintah. Tinggal diatur saja
regulasinya. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak boleh dikeluarkan jika
mereka tidak dapat memenuhi 30 persen kawasan proyeknya sebagai ruang
terbuka hijau (RTH)," ujar Nirwono kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu (15/6/2013).
Beberapa
pengembang hanya memenuhi Amdal Lingkungan. Itu pun terbatas pada
"tidak menyebabkan banjir" atau "menanam pohon". Mereka lupa dengan
Amdal lain, seperti kemungkinan lokasi proyek tersebut menyebabkan
kemacetan dan sumber polusi lingkungan. Seringkali mereka juga abai
terhadap Amdal Sosial yang membuat jurang kemiskinan semakin lebar.
Padahal, untuk diketahui, 70 persen perkembangan kota itu dipengaruhi oleh aksi pengembang. Artinya, kalau pengembang concern
terhadap lingkungan, kota dapat menyelesaikan masalah lingkungan dengan
tepat. Jangan sampai tata ruang jadi tata uang. Di sini peranan
pemerintah mengatur regulasi dan menata ruangnya secara ketat.
Pengembang properti tinggal mengikuti rencana pengembangan tadi.
Sementara
itu, pengamat perkotaan Yayat Supriatna berpendapat, Amdal harus dapat
mengakomodasi realitas yang terjadi di lapangan. Amdal yang terperinci
adalah Amdal yang aspiratif, menyerap segala persoalan yang terjadi di
masyarakat. Karena ada pra konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi.
"Jadi, setiap proses itu harusnya diikuti, berikut dengan
dampak yang ditimbulkan, juga terkait dengan masalah dampak sosial
maupun secara ekonomi," imbuhnya.