Kamis, 28 November 2013

Dampak Pelebaran Jalan Fatmawati

www.thespring-residences.blogspot.com


Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan termasuk dalam jalur yang akan dilalui MRT rute Lebak Bulus-Bundaran HI. Pelabaran jalan di jalur tersebut sudah berlangsung dan berjalan lancar tanpa adanya penolakan lagi dari warga Fatmawati.

Menurut pantauan di sepanjang Jalan Raya Fatmawati, Jakarta Selatan, Jumat (11/10/2013), proses pelebaran jalan dan pembangunan jalan untuk tiang MRT masih berlangsung. Di jalur tersebut, rencananya akan dibangun jalan dan 6 stasiun layang. Jika sebelumnya muncul penolakan warga atas proyek pembangunan MRT yang melalui wilayah mereka, kini penolakan itu tak terlihat. Proses pelebaran jalan pun berlangsung lancar.

Namun demikian, sejumlah pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan tersebut mengeluh dengan proyek MRT. Alasannya, proyek tersebut dianggap menghilangkan mata pencaharian mereka.

Selain tergusurnya PKL, warga Fatmawati bernama Ernasari (35) menuturkan, pelebaran jalan di jalan ini telah menyebabkan kemacetan yang cukup parah. Walaupun proyek tersebut dikerjakan dari pukul 17.00 WIB hingga malam hari, dengan bagian pinggir yang diberi pembatas, membuat jalan tersebut kerap dilanda kemacetan, khususnya pada jam sibuk.

Gubernur DKI Jakarta telah melakukan peletakkan batu pertama (groundbreaking) proyek Mass Rapid Transit (MRT) tahap I di Dukuh atas untuk rute Bundarah Hi-Lebak Bulus. Proyek tahap I meliputi pembangunan 6 stasiun bawah tanah (terowongan) dan 6 stasiun layang (elevated). Jalur MRT ini dimulai dari Lebak Bulus, melalui Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok M, hingga Sisingamangaraja.

Pelebaran Jalan Ciater

 www.thespring-residences.blogspot.com


Guna mengatasi kemacetan yang sering terjadi di Jalan Raya Ciater, Serpong, Pemkot Tangerang Selatan (Tangsel) berencana melebarkan jalan tersebut menjadi empat lajur dari dua lajur yang kini ada. Demikian dikatakan Retno Prawati, Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (BMSDA) Kota Tangerang Selatan, Rabu (31/10).

“Kami sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 46 miliar untuk pembebasan dan pelebaran Jalan Raya Ciater, Serpong,” ucapnya. Menurut Retno, pelebaran jalan tersebut akan dilaksanakan awal tahun 2013 mendatang. “Jika tak ada aral melintang, dan pembebasan berjalan lancar, maka awal 2013 bisa kami laksanakan,” katanya.

Proyek pelebaran jalan itu sendiri, kata Retno, sudah dapat dilaksanakan karena sebagian tanah sudah dibebaskan. “Sisanya masih dalam tahap pembebasan lahan,” ujarnya. Menurut Retno, jika sudah dilebarkan menjadi empat lajur, maka total lebar jalan di Jalan Raya Ciater menjadi 24 meter. “Tidak seperti sekarang, hanya 12 meter dengan dua lajur. Hal itu menimbulkan kemacetan jika ada kendaraan yang berhenti,” ucapnya.

Pelebaran akan memakan lahan sepanjang 4,4 kilometer, dengan rincian 2,2 kilometer untuk ruas Jalan Ciater Raya-Pertigaan Maruga, dan 2,2 kilometer untuk ruas Pertigaan Maruga-Pertigaan Jalan Aria Putra. “Kalau sudah empat lajur kami jamin arus lalu lintas akan lancar, meskipun ada kendaraan yang berhenti. Karena kendaraan bisa saling mendahului,” ucapnya.

Menurut Retno, dari Pertigaan Maruga akan ada simpang kaki ke arah Jalan Pamulang 2 sepanjang 145 meter dan tersedia juga jalur sepeda. Selain itu, drainase di jalan tersebut akan diperbesar menjadi 1,2 meter, dan di atasnya dibangun jalur untuk pejalan kaki.

Tepat di Pertigaan Maruga, kata Retno, juga akan diubah dan dibuat bundaran. Sebab kondisi yang sekarang, kurang aman bagi pengendara, karena adanya tanjakan yang curam.

Untuk informasi perumahan baru bersistem cluster di daerah Ciater, klik :
www.new-serpong-estate.blogspot.com
www.serpong-green-park2.blogspot.com

Selasa, 15 Oktober 2013

KPR Konvensional Atau KPR Syariah?


KPR syariah adalah produk yang dikeluarkan oleh bank-bank syariah (Islamic banking). Pada KPR syariah, yang ditransaksikan adalah barang (dalam hal ini rumah) dengan prinsip jual-beli (murabahah). Hal ini tentu berbeda dengan prinsip bank konvensional, dimana yang ditransaksikan adalah uang.

Dalam transaksi tersebut, bank syariah "seolah-olah" membeli rumah yang diinginkan konsumen dan menjualnya kepada konsumen tersebut dengan cara dicicil. Kendati tidak memberlakukan bunga, namun bank syariah juga mengambil margin keuntungan dari harga jual rumah.

Berbeda dengan bank konvensional yang tingkat suku bunganya fluktuatif, KPR syariah memiliki beberapa alternatif pilihan akad sesuai kebutuhan Anda. Yang paling banyak ditawarkan adalah skema jual beli (murabahah), di mana pihak bank syariah akan membeli rumah yang diinginkan Anda sebesar harga rumah tersebut, kemudian menjualnya kepada Anda. Harga jualnya biasanya sudah ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan Anda.

Harga jual rumah ditetapkan di awal ketika Anda menandatangani perjanjian pembiayaan jual beli rumah, dengan angsuran tetap hingga jatuh tempo pembiayaan. Dengan adanya kepastian jumlah angsuran bulanan yang harus dibayar sampai masa angsuran selesai, Anda tidak akan dipusingkan dengan masalah naik/turunnya angsuran ketika suku bunga bergejolak. Anda juga diuntungkan ketika ingin melunasi angsuran sebelum masa kontrak berakhir, karena bank syariah tidak akan mengenakan pinalti. Bank syariah tidak memberlakukan sistem pinalti karena harga KPR sudah ditetapkan sejak awal.
 

Kelebihan dan Kekurangan

Tidak seperti bank konvensional yang menerapkan bunga, yang naik-turun mengikuti fluktuasi suku bunga di pasar, bank syariah menerapkan cicilan tetap (fix) hingga akhir masa tenor.

Selain itu, KPR syariah tidak mengenal istilah value of money. Dengan demikian, jika konsumen (debitur) terlambat atau menunggak pembayaran, tidak akan dikenakan denda.
Kendati demikian, KPR syariah memiliki "kekurangan", yaitu masa cicilan (tenor) maksimal hanya delapan tahun, berbeda dengan bank konvensional yang bisa mencapai 15 tahun, bahkan 20 tahun. Lantaran tenornya yang lebih pendek, maka jumlah cicilan per bulannya juga relatif lebih besar dari KPR konvensional.

Karena itu, sebelum Anda memutuskan akan mengambil KPR jenis apa dan dari bank mana, Anda perlu membandingkan program KPR yang ditawarkan oleh bank konvensional dengan tawaran KPR dari beberapa bank syariah yang akan menggunakan margin tetap yang berbeda-beda. Buatlah simulasi perhitungan cicilan bulanan masing-masing dan pertimbangkan mana yang lebih memungkinkan untuk Anda ambil sesuai dengan kondisi keuangan Anda saat ini.

Ketentuan Baru Terkait LTV Kepemilikan Properti

Bank Indonesia (BI) menerbitkan Surat Edaran (SE) terkait penyempurnaan ketentuan Loan to Value (LTV) atau Financing to Value (FTV) untuk kredit kepemilikan properti dan kredit konsumsi beragunan properti.

"Latar belakang kebijakan ini pada intinya bertujuan menjaga stabilitas sistem keuangan dan memperkuat ketahanan perbankan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah di Gedung BI, Jakarta, Rabu (25/9/2013).

LTV/FTV adalah rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan bank terhadap nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit atau pembiayaan.  Adapun ruang lingkup properti meliputi rumah tapak, rumah susun (apartemen, flat, kondominium dan griya tawang), rumah kantor dan rumah toko (ruko).

Penyempurnaan tersebut, kata Difi, dijelaskan dalam Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 tentang penerapan manajemen resiko pada bank yang melakukan pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor.

Tujuan dari diberlakukannya SE tersebut, ujar Difi, antara lain mendorong penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit. Di sisi lain, ketentuan LTV/FTV ini juga memberi kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat berpenghasilan menengah–bawah untuk memperoleh rumah layak huni serta meningkatkan aspek perlindungan konsumen di sektor properti. Ketentuan ini dikecualikan bagi kredit/pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah. "Perlu diketahui ketentuan ini dikecualikan bagi kredit atau pembiayaan dalam rangka program perumahan Pemerintah Pusat maupun Daerah," tegasnya.

Ketentuan LTV/FTV SE yang baru ini juga mengatur beberapa hal yakni, pertama, perlakuan terhadap debitur suami istri. Kedua, perlakuan terhadap fasilitas kredit tambahan (top up) KPP sebelumnya atau pembiayaan baru berdasarkan properti yang masih menjadi agunan dari fasilitas KPP iB sebelumnya.

Serta ketiga, larangan bagi bank untuk memberikan fasilitas kredit atau pembiayaan tambahan untuk pemenuhan uang muka kredit/pembiayaan pemilikan properti dan atau kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti.

"Dalam SE ini juga diatur pula prinsip kehati-hatian dalam pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan pemilikan properti jika properti yang dijadikan agunan belum tersedia secara utuh (inden) yakni hanya diperbolehkan pada pemberian fasilitas kredit KPR atau rumah pertama," kata Difi.


Penyempurnaan ketentuan LTV/FTV dilatarbelakangi oleh tingginya pertumbuhan kredit ke sektor properti, khususnya kredit untuk rumah tapak dan rumah susun (flat dan apartemen) pasca penerapan ketentuan LTV/FTV pada pertengahan 2012. Tingginya pertumbuhan sektor properti juga mempengaruhi perilaku debitur dalam memanfaatkan kredit/pembiayaan dari bank. Hal ini terlihat dari beberapa indikasi yang menunjukkan penggunaan kredit konsumsi lainnya untuk pembelian properti atau sebagai tambahan uang muka pembelian properti. 


Untuk mengantisipasi peningkatan konsentrasi risiko kredit di sektor properti, dengan mempertimbangkan profil risiko debitur/nasabah termasuk kemampuan pelunasan kredit (repayment capacity), ketentuan yang baru akan memberlakukan LTV/FTV dengan persentase yang menurun (regresif). Sasaran utama dari pengaturan dimaksud adalah mengantisipasi potensi risiko gagal bayar yang disebabkan penurunan kemampuan pelunasan kredit.

Dengan dikeluarkannya SE tersebut, maka akan mencabut ketentuan sebelumnya, yakni Surat Edaran No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 (versi mobile) dan Surat Edaran No.14/33/DPbS tanggal 27 November 2012. Ketentuan ini akan berlaku efektif mulai 30 September 2013 serentak untuk bank konvensional, bank syariah dan unit usaha syariah.

Sabtu, 15 Juni 2013

Beli Rumah, Tunai Atau Kredit ?

Harga rumah dan apartemen yang melangit tidak menghalangi pembelian rumah kelas menengah-atas secara tunai atau tunai bertahap. Pada kelompok ini, bank justru bersaing dengan pembeli tunai.

Data yang dikeluarkan oleh konsultan properti Cushman & Wakefield menyebutkan, pada semester II tahun lalu, sebanyak 27 persen pembeli membayar dengan tunai keras dan sebanyak 22 persen membayar dengan tunai bertahap. Sisanya, sebanyak 51 persen, membayar dengan kredit.

Direktur Konsumer dan Ritel Banking PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Darmadi Sutanto mengungkapkan, pembelian tunai dan tunai bertahap untuk rumah kelas menengah atas meningkat. Akibatnya, kredit pemilikan rumah untuk kelompok ini turun.

"Kami punya strategi, meminta tunai bertahap dipindah ke bank," kata Darmadi, menyiasati tingginya pembelian rumah secara tunai. Pembelian tunai bertahap, artinya pembeli membayar dalam satu tempo tertentu, misalnya 12 bulan. Dengan demikian, tidak menggunakan kredit bank.

BNI menyasar kredit pemilikan rumah (KPR) dengan jumlah pinjaman sekitar Rp 374 juta per unit. Kendati yakin belum ada potensi gelembung (bubble) pada KPR, BNI ketat menerapkan aturan uang muka minimal sebesar 30% dari harga rumah.

Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Muhamad Ali mengemukakan, sejauh ini belum ada pengaruh pembelian secara tunai dan tunai bertahap bagi KPR BRI. Menurut Ali, BRI masih akan mengembangkan KPR dengan nilai pinjaman Rp 300 juta-Rp 500 juta per unit.

Bank Indonesia, pada Juni 2012 lalu, menerbitkan aturan mengenai loan to value (LTV) atau jumlah pinjaman maksimal yang diberikan untuk nasabah KPR dengan luas rumah di atas 70 meter persegi. Aturan yang disusul untuk pembiayaan rumah bank syariah pada April 2013 itu, antara lain, mengatur LTV sebesar 70 persen dari harga rumah. Artinya, untuk membeli rumah, konsumen harus menyiapkan uang muka minimal 30 persen dari harga rumah. Akan tetapi, faktanya, untuk rumah dengan luas lebih dari 70 meter persegi, yang umumnya harganya tinggi, banyak pembeli membayar secara tunai.

Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Agusman, dalam jawaban tertulis atas pertanyaan Kompas, menyebutkan, wajar tidaknya harga properti ditentukan oleh mekanisme permintaan dan suplai. Dengan demikian, sepanjang harga properti yang ditawarkan masih terjangkau oleh konsumen di kelasnya dan properti yang dibeli digunakan sesuai dengan peruntukan, dapat dikatakan harga properti masih wajar. Namun, apabila harga properti sudah di luar jangkauan konsumen dan pembelinya adalah pihak yang mengharapkan kenaikan investasi, dapat dikatakan harganya sudah di atas nilai wajar.

Dampak Mengabaikan AMDAL

Sudah menjadi rahasia umum di Jakarta ini terjadi praktik "jual beli" ijin dan lebih jauh lagi regulasi. Terutama Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Alih-alih penataan ruang kota Jakarta dapat meningkatkan kualitas hidup warganya, malah bencana yang datang kemudian. Kemacetan dan banjir adalah produk dari praktik "pat gulipat" yang ditengarai kerap terjadi antara oknum Pemprov DKI Jakarta dan pengembang properti.

Hal tersebut disampaikan pegiat Jakarta Hijau, Nirwono Joga, dalam dialog Komunitas Peta Hijau Jakarta. Menurutnya praktik yang berlaku di lapangan menunjukkan adanya ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur regulasi dan menata ruang. Ia menuding, pengembang properti kini justru lebih berani "menyetir" pemerintah dengan mengajukan rencana pembangunan yang celakanya, kemudian dilegalisasi.

Mereka mengantongi izin, mendapatkan fasilitas serta akses dari pemerintah. Padahal, belum tentu proyek tersebut memenuhi ketiga dimensi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Sampai saat, lanjut Nirwono, ia belum pernah melihat penghentian proyek, meski ketiga Amdal tersebut tidak terpenuhi.

"Hal ini tidak bisa berlangsung selamanya. Ini menyangkut masa depan Jakarta. Kota ini harus bebas macet dan banjir. Untuk itu diperlukan ketegasan dari pemerintah. Tinggal diatur saja regulasinya. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak boleh dikeluarkan jika mereka tidak dapat memenuhi 30 persen kawasan proyeknya sebagai ruang terbuka hijau (RTH)," ujar Nirwono kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu (15/6/2013).

Beberapa pengembang hanya memenuhi Amdal Lingkungan. Itu pun terbatas pada "tidak menyebabkan banjir" atau "menanam pohon". Mereka lupa dengan Amdal lain, seperti kemungkinan lokasi proyek tersebut menyebabkan kemacetan dan sumber polusi lingkungan. Seringkali mereka juga abai terhadap Amdal Sosial yang membuat jurang kemiskinan semakin lebar.

Padahal, untuk diketahui, 70 persen perkembangan kota itu dipengaruhi oleh aksi pengembang. Artinya, kalau pengembang concern terhadap lingkungan, kota dapat menyelesaikan masalah lingkungan dengan tepat. Jangan sampai tata ruang jadi tata uang. Di sini peranan pemerintah mengatur regulasi dan menata ruangnya secara ketat. Pengembang properti tinggal mengikuti rencana pengembangan tadi.

Sementara itu, pengamat perkotaan Yayat Supriatna berpendapat, Amdal harus dapat mengakomodasi realitas  yang terjadi di lapangan. Amdal yang terperinci adalah Amdal yang aspiratif, menyerap segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Karena ada pra konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi.

"Jadi, setiap proses itu harusnya diikuti, berikut dengan dampak yang ditimbulkan, juga terkait dengan masalah dampak sosial maupun secara ekonomi," imbuhnya.